NASKAH AKADEMIK


ABSTRAK

            Naskah Akademik adalah “naskah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan peraturan perundang-undangan.
            Penyusunan naskah akademik selama ini dilakukan berdasarkan pada pengajuan usulan perencanaan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional.
            Selama ini penyusunan suatu naskah akademik tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh penyelenggara negara yang berhubungan dengan pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan naskah akademik biasanya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
Bahwa untuk mengamati apakah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan yang direncanakan dan terumuskan dalam suatu naskah akademis, diperlukan pembentukan risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung. Pembentukan risalah/dokumentasi yang lengkap terhadap seluruh pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat merupakan bahan evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah akademik dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut

            Keberadaan Naskah Akademik memang sangat diperlukan dalam rangka pembentukan peraturan perundang – undangan yang bertujuan agar peraturan perundang - undangan yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional di kehidupan masyarakat.





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Penyusunan naskah akademik sangat penting sekali dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, penyusunan  naskah akademik tidak dapat dipisahkan karena  merupakan kesatuan yang saling berkaitan. Naskah akademik ini merupakan pedoman dan dasar bagi pemrakarsa maupun pemerintah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Pada saat ini, penyusunan naskah akademik (academic paper) dalam rangka pembentukan rancangan undang-undang tidak saja menjadi permasalahan yang actual di Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi merupakan pula suatu permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pemerintah lain yang berhubungan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan naskah akademik yang selama ini dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional- Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), merupakan suatu kelanjutan dari gagasan yang dikemukakan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. untuk memberikan pedoman bagi perumusan suatu rancangan peraturanperundang-undangan yang akan dibentuk oleh pemerintah.
Kebiasaan menyusun naskah akademik tersebut pada waktu yang lampau tidak mempunyai dampak yang besar, dalam arti naskah akademik yang telah jadi seringkali tidak dipergunakan dalam pembentukan rancangan undang-undang, oleh karena tidak adanya pengaturan yang tegas tentang hubungan antara Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dengan departemen atau lembaga-lembaga pemerintah non departemen yang mengajukan rancangan undang-undang dalam penetapan Prolegnas.
Selain itu, selama ini di setiap departemen dan lembaga pemerintah lainnya selalu terdapat bagian-bagian atau biro-biro yang bertugas menangani pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai bidang tugas dan kewenangannya, sehingga pembentukan rancangan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya akan dilakukan sendiri di departemen atau lembaga pemerintah lainnya tersebut.

oleh karena penyusunan naskah akademik tidak dapat dipisahkan ketika hendak membuat  Rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga  penulis hendak membahas membahas mengenai ruang lingkup dalam naskah akademik



B.           Rumusan Masalah

Dalam makalah ini Penulis ingin menyusun makalah yang berjudul “Naskah Akademik dalam Pembentukan Rancangan Undang-Undang”  yang lebih terperinci terutama mengenai :
1.      Bagaimana pembentukan naskah akademik  di masa yang lalu?
2.      Bagaimana dasar hukum dalam pembentukan naskah akademik?
3.      Bagaimana sebaiknya dalam pembentukan naskah akademik di masa mendatang?

        C.          Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini bagi penulis terbagi menjadi 2 tujuan  antara lain:
1)      Tujuan Khusus
a.       Untuk Mengetahui  pembentukan naskah akademik  di masa yang lalu;
b.      Untuk mengetahui dasar hukum dalam pembentukan naskah akademik

c.       Untuk mengetahui bagaimana sebainya pembentukan naskah akademik di masa mendatang.



BAB II
PEMBAHASAN

1.  Pembentukan Naskah Akademik di Masa Yang lalu
Penyusunan naskah akademik selama ini dilakukan berdasarkan pada pengajuan usulan perencanaan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional.
Dalam melaksanaan penyelenggaraan Program Legislasi Nasional, departemen atau lembaga pemerintah non departemen akan mengajukan rencana pembentukan peraturan perundang-undangan kepada Departemen Kehakiman.
Pengajuan rencana penyusunan peraturan perundang-undangan ini disertai penjelasan tentang masalah tersebut akan diatur. Selain itu dituliskan juga daftar urutan (prioritas) terhadap permasalahn yang akan diatur.
            Setelah pengajuan rencana penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut, maka akan dibuat suatu daftar Program Legislasi Nasional atau Rencana Legislasi Nasional oleh Departemen Kehakiman, dalam hali ini Badan Pembinaan Hukum Nasional, kemudian dimulailah tahap penyusunan  naskah akademik melalui serangkaian tahapan, yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Pengkajian permasalahan yang berhubungan dengan suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut oleh suatu Tim dari BPHN-Departemen Kehakiman, bersama tenaga-tenaga ahli yang terkait dalam masalah yang akan diatur;
2.      Pelaksanaan penelitian terhadap berbagai segi yang berhubungan dengan masalah yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, baik dengan penelitian yang bersifat normative, maupun yang bersifat empiric.
Penelitian yang bersifat normative dilakukan dengan mengadakan penelitian secara studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan penelitian yang bersifat empiris, dapat dilakukan dengan mengadakan wawancara terhadap sejumlah kalangan yang dapat mewakili opini public secara luas, atau dengan cara mengadakan jajak penadapat (pooling) melalui pemberian kuestioner.
3.      Hasil penelitian tersebut kemudian akan dijadikan masukan oleh Tim untuk menyusun suatu naskah akademik yang disertai draft awal dari Rancangan Undang-Undang yang akan diajukan.
4.      Sesudah naskah akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang tersebut selesai dibuat, termasuk penyempurnaan-penyempurnaan yang mungkin diperlukan, kemudian akan dikirimkan kepada departemenatau lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk dijadikan pedoman pembentukan Rancangan Undang-Undang selanjutnya. ( Maria Farida, 2007: 242-243)

2. Dasar Hukum Pembentukan Naskah Akademik
a)                  Sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Selama ini penyusunan suatu naskah akademik tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh penyelenggara negara yang berhubungan dengan pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan naskah akademik biasanya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
            Walaupun kewajiban untuk menyusun suatu naskah akademik serta bentuk naskah akdemik tersebut sampai saat ini tidak ditentukan dengan suatu pedoman yang jelas, namun demikian sejak tanggal 20 Desember 1994 Kepala badan Pembinaan hukum nasional telah mengeluarkan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. G 159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan, yang sebagian besar departemen digunakan sebagai acuan untuk membentuk naskah akademis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum pembentukan naskah akdemis mulai mendapat perhatian setelah Presiden menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 188 Th. 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (dalam Keputusan Presiden ini disebutkan dengan istilah rancangan akademik).
Penyusunan naskah akademik mulai menjadi suatu pemikiran dari lembaga pemerintah yang terkait dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang, oleh karena dalam Pasal 3 Keputusan Presiden No. 188 Th. 1988 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tersebut antara lain ditetapkan sebagai berikut:
Pasal 3
(1)   Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun.
(2)   Penyusunan rancangan akademik dilakukan oleh Departemen atau Lembaga Pemrakarsa bersama dengan Departemen Kehakiman dan pelaksanaannya  dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian itu.

Pasal 4
(1)   Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri Kehakiman mengkoordinasikan konsultasi di antara pejabat yang secara teknis menguasai permasalahan yang diatur dan ahli hukum dari Departemen atau Lembaga Pemrakarsa Rancangan Undang-Undang, Sekretariat Negara dan Departemen serta Lembaga lainnya yang terkait.
(2)   Dalam hal Rancangan Undang-Undang tersebut memerlukan rancangan akademik, maka rancangan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.

Berdasarkan rumusan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Presiden No. 188 Th. 1988 tersebut, maka keberadaan suatu naskah akademik dalam pembentukan rancangan undang-undang (dan peraturan perundangan-undangan lainnya) belum merupakan suatu kebijakan.
Kewajiban membentuk suatu rancangan akademik masih bersifat tidak mengikat (alternatif), oleh karena dalam Pasal 3 ayat (1) hanya dirumuskan dengan kata “ dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik” dan tidak dirumuskan dengan kata “wajib terlebih dahulu menyusun rancangan akademik”.
Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia No. 15/DPR RI/2004-2005 keberadaan suatu naskah akademis perlu menjadi pertimbangan. Hal ini disebabkan dalam Pasal 119 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 119
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diajukan beserta penjelasan, keterangan, dan/atau naskah akademik.

Dari  rumusan dalam Pasal 119 ayat (5) Pertauran Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tersebut terlihat bahwa kewajiban untuk menyusun naskah akademik dalam pembentukan rancangan undang-undang masih bersifat suatu alternatif. Dengan demikian, suatu rancangan undang-undang boleh diajukan dengan naskah akdemis, atau tidak beserta naskah akademis asal rancangan undang-undang tersebut disertai penjelasan dan keterangan.

b)           Sesudah Undang-Undang No. 10 Th. 2004
Dalam Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Bab V yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dirumuskan suatu kewajiban untuk menyusun naskah akademis dalam pembentukan rancangan undang-undang atau rancangaan peraturan perundang-undangan yang lain.
            Sesudah berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tersebut, pengaturan tentang naskah akademis mulai dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemrintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
            Dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut, pengertian naskah akademis dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7 yang berbunyi sebagai berikut:

“Naskah Akademis adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latyar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin dwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.”
Selanjutnya dalam Pasal 5 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut dirumuskan bahwa:
(1)   Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademis mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undamg-Undang.
(2)   Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemrakrsa bersama-sama dengan Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaanya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.
(3)   Naskah Akademis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikt memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur.
(4)   Pedoman penyusunan Naskah Akademis diatur dengan Peraturan Menteri.

Selain itu, dalam Pasal 121 Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
(1)   DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)   Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)   Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
(4)   DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumebr daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(5)   Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diajukan beserta penjelasan, keterangan, dan/atau naskah akademis.
Rumusan serupa juga terdapat dalam Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 134 (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125 ayat (1) :
Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan, keterangan, dan/ atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden.
Pasal 134 :
Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan, keterangan, dan/ atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR.
5.      Walaupun berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, dan Surat Keputusan DPR No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat tersebut telah merumuskan pengertian naskah akademis, dan mengaturnya dalam beberapa pasal, namun semua ketentuan dalam pasal tersebut tidak memberikan kewajiban untuk menyusun naskah akademis bagi pembetuntuk rancangan undang-undang. Dengan perkataan lain, kewajiban membentuk naskah akademis dalam pembentukan rancangan undang-undang adalah merupakan suatau alternatif. ( Maria Farida, 2007: 243-248)

3. Pembentukan Naskah Akademis di Masa Mendatang
Berdasarkan uraian di atas, menurut pendapat Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H. berkesimpulan sebagai berikut:
1.      Bahwa keberadaan naskah akademik dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan sampai saat ini belum mempunyai kekuatan mengikat yang tegas, oleh karena kegunaan naskah akademik dalam penyusunan suatau rancangan peraturan perundang-undangan tidak merupakan suatu keharusan bagi Departemen atau Lembaga-Lembaga Pemerintah yang menjadi Pemrakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, demikian pula di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
2.      Bahwa selama ini suatu naskah akademik disusun berdasarkan suatu kebiasaan yang berlaku, oleh karena belum ada pedoman yang baku, hali ini dapat dimengerti oleh karena naskah akademis bukanlah merupakan suatu produk hukum.
3.      bahwa oleh karena secara definisi ditetapkan bahwa, naskah akademis adalah suatu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secra ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang, penelitian, maka naskah akademis disusun sebelum rancangan undang-undangnya terbentuk. Hal ini disampaikan, oleh karena selama ini seringkali seseorang dimintakan untuk membuat suatu naskah akademis setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan.
4.      Bahwa untuk mengamati apakah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan yang direncanakan dan terumuskan dalam suatu naskah akademis, diperlukan pembentukan risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung. Pembentukan risalah/dokumentasi yang lengkap terhadap seluruh pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat merupakan bahan evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah akademik dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Untuk menunjang tercapainya penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik di negara Indonesia , dan yang memenuhi kebutuhan akan pengaturan berbagai masalah yang ada, serta memenuhi keinginan akan adanya harmonisasi dalam bidang perundang-undangan, maka pembahasan dan kajian tentang fungsi dan pentingnya naskah akademik bagi penyusunan rancangan undang-undang (dan peraturan perundang-undangan lainnya) merupakan suatu yang perlu dipertimbangkan dalam hubungannnya dengan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia selama ini. Pembahasan dan kajian ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Namun demikian, untuk menindaklanjuti ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, terdapat hal-hal yang dapat diajukan sebagai suatu pertimbangan, antara lain:
1.      apakah pembentukan suatau naskah akademik harus dilakukan terhadap setiap rancangan peraturan perundang-undanganoleh karena materi peraturan perundang-undangan tersebut seringkali hanya peraturan yang bersifat atribusi atau delegasi dari Undang-Undang yang merupakan peraturan pelaksanaannya.
2.      perlu adanya pedoman umum bagi pembentukan suatu naskah akademik yang dapat dipakai sebagai acuan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang memerlukan;
3.      perlunya ada pengaturan tentang kriteria-kriteria apa saja yang diperlukan untuk membentuk suatu naskah akademik bagi setiap penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat memenuhi standar yang optimal sebagai suatu peraturan yang baik dan diterima masyarakat;
4.      perlunya penelitian lebih dahulu mengenai materi muatan dari suatu masalah yang akan dirumuskan dalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga Departemen atau Lembaga yang akan menyusun peraturan tersebut diatur dengan suatu jenis peraturan perundang-undangan;
5.      dengan menyesuaikan ketentuan dalam pasal 1 butir 7, dan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, naskah akademis sebaiknya memuat pula tentang hal-hal sebagai berikut:
1)      latar belakang dan tujuan penyusunan;
2)      argumentasi dan urgensi pembentukan peraturan yang ingin diwijudkan;
3)      lanfdasan filosofis, sosiologis, yiridis, sepanjang hal tersebut ada;
4)      sasaran yang ingin diwujudkan
5)      pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan

6)      jangkauan dan arah pengaturan. ( Maria Farida, 2007: 248-251)



BAB III
PENUTUP
A.        A.          Kesimpulan
1.      Pembentukan Naskah Akademik di Masa Yang lalu
a)            Pengkajian permasalahan yang berhubungan dengan suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut oleh suatu Tim dari BPHN-Departemen Kehakiman, bersama tenaga-tenaga ahli yang terkait dalam masalah yang akan diatur;
b)            Pelaksanaan penelitian terhadap berbagai segi yang berhubungan dengan masalah yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, baik dengan penelitian yang bersifat normative, maupun yang bersifat empiric.
c)            Hasil penelitian tersebut kemudian akan dijadikan masukan oleh Tim untuk menyusun suatu naskah akademik yang disertai draft awal dari Rancangan Undang-Undang yang akan diajukan.
d)           Sesudah naskah akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang tersebut selesai dibuat, termasuk penyempurnaan-penyempurnaan yang mungkin diperlukan, kemudian akan dikirimkan kepada departemenatau lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk dijadikan pedoman pembentukan Rancangan Undang-Undang selanjutnya.

2.      Dasar Hukum Pembentukan Naskah Akademik
a)                  Sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Dasar hukum pembentukan naskah akademis mulai mendapat perhatian setelah Presiden menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 188 Th. 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (dalam Keputusan Presiden ini disebutkan dengan istilah rancangan akademik).
b)            Sesudah Undang-Undang No. 10 Th. 2004
Dalam Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Bab V yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dirumuskan suatu kewajiban untuk menyusun naskah akademis dalam pembentukan rancangan undang-undang atau rancangaan peraturan perundang-undangan yang lain.
            Sesudah berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tersebut, pengaturan tentang naskah akademis mulai dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemrintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

1.      Pembentukan Naskah Akademis di Masa Mendatang
berdasarkan uraian di atas, menurut pendapat Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H. berkesimpulan sebagai berikut:
4.      Bahwa keberadaan naskah akademik dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan sampai saat ini belum mempunyai kekuatan mengikat yang tegas, oleh karena kegunaan naskah akademik dalam penyusunan suatau rancangan peraturan perundang-undangan tidak merupakan suatu keharusan bagi Departemen atau Lembaga-Lembaga Pemerintah yang menjadi Pemrakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, demikian pula di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
5.      Bahwa selama ini suatu naskah akademik disusun berdasarkan suatu kebiasaan yang berlaku, oleh karena belum ada pedoman yang baku, hali ini dapat dimengerti oleh karena naskah akademis bukanlahmerupakan suatu produk hukum.
  1. bahwa oleh karena secara definisi ditetapkan bahwa, naskah akademis adalah suatu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secra ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang, penelitian, maka naskah akademis disusun sebelum rancangan undang-undangnya terbentuk. Hal ini disampaikan, oleh karena selama ini seringkali seseorang dimintakan untuk membuat suatu naskah akademis setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan.
  2. Bahwa untuk mengamati apakah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan yang direncanakan dan terumuskan dalam suatu naskah akademis, diperlukan pembentukan risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung. Pembentukan risalah/dokumentasi yang lengkap terhadap seluruh pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat merupakan bahan evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah akademik dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

B.           Rekomendasi
sebaiknya dalam pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan senantiasa menyusun naskah akademik terlebih dahulu, sehingga ketika peraturan perundang-undangan tersebut telah terbentuk memenuhi kriteria sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.



Daftar Pustaka

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-undangan-Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisius


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN

ARSITEKTUR LINGKUNGAN

KULIAH LAPANGAN ARSITEKTUR