NASKAH AKADEMIK
ABSTRAK
Naskah Akademik adalah “naskah yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai
konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin
diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan
peraturan perundang-undangan.
Penyusunan naskah akademik selama ini dilakukan berdasarkan pada
pengajuan usulan perencanaan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
di tingkat Pusat, yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional.
Selama ini penyusunan suatu naskah akademik tidak diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh penyelenggara negara
yang berhubungan dengan pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan naskah
akademik biasanya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
Bahwa untuk mengamati apakah pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan yang direncanakan dan
terumuskan dalam suatu naskah akademis, diperlukan pembentukan risalah
pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut berlangsung. Pembentukan risalah/dokumentasi yang
lengkap terhadap seluruh pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut, dapat merupakan bahan evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah
akademik dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui
alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut
Keberadaan
Naskah Akademik memang sangat diperlukan dalam rangka pembentukan peraturan
perundang – undangan yang bertujuan agar peraturan perundang - undangan yang
dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional di kehidupan
masyarakat.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Penyusunan naskah akademik sangat penting sekali dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, penyusunan naskah akademik
tidak dapat dipisahkan karena merupakan kesatuan yang saling
berkaitan. Naskah akademik ini merupakan pedoman dan dasar bagi pemrakarsa
maupun pemerintah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Pada saat ini, penyusunan naskah akademik (academic paper)
dalam rangka pembentukan rancangan undang-undang tidak saja menjadi
permasalahan yang actual di Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi merupakan pula
suatu permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pemerintah lain yang
berhubungan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan naskah akademik yang selama ini dilakukan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional- Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia), merupakan suatu kelanjutan dari gagasan yang dikemukakan
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. untuk memberikan pedoman bagi
perumusan suatu rancangan peraturanperundang-undangan yang akan dibentuk oleh
pemerintah.
Kebiasaan menyusun naskah akademik tersebut pada waktu yang
lampau tidak mempunyai dampak yang besar, dalam arti naskah akademik yang telah
jadi seringkali tidak dipergunakan dalam pembentukan rancangan undang-undang,
oleh karena tidak adanya pengaturan yang tegas tentang hubungan antara Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dengan departemen atau
lembaga-lembaga pemerintah non departemen yang mengajukan rancangan
undang-undang dalam penetapan Prolegnas.
Selain itu, selama ini di setiap departemen dan lembaga
pemerintah lainnya selalu terdapat bagian-bagian atau biro-biro yang bertugas
menangani pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai bidang tugas dan
kewenangannya, sehingga pembentukan rancangan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya akan dilakukan sendiri di departemen atau lembaga
pemerintah lainnya tersebut.
oleh karena penyusunan naskah akademik tidak dapat dipisahkan
ketika hendak membuat Rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga penulis
hendak membahas membahas mengenai ruang lingkup dalam naskah akademik
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini Penulis ingin menyusun makalah yang berjudul
“Naskah Akademik dalam Pembentukan Rancangan Undang-Undang” yang
lebih terperinci terutama mengenai :
1. Bagaimana pembentukan naskah
akademik di masa yang lalu?
2. Bagaimana dasar hukum dalam pembentukan naskah
akademik?
3. Bagaimana sebaiknya dalam pembentukan naskah
akademik di masa mendatang?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini bagi penulis terbagi menjadi
2 tujuan antara lain:
1) Tujuan Khusus
a. Untuk
Mengetahui pembentukan naskah akademik di masa yang lalu;
b. Untuk mengetahui dasar
hukum dalam pembentukan naskah akademik
c. Untuk mengetahui
bagaimana sebainya pembentukan naskah akademik di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembentukan Naskah Akademik di Masa Yang lalu
Penyusunan naskah akademik selama ini dilakukan berdasarkan pada
pengajuan usulan perencanaan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
di tingkat Pusat, yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional.
Dalam melaksanaan penyelenggaraan Program Legislasi Nasional,
departemen atau lembaga pemerintah non departemen akan mengajukan rencana
pembentukan peraturan perundang-undangan kepada Departemen Kehakiman.
Pengajuan rencana
penyusunan peraturan perundang-undangan ini disertai penjelasan tentang masalah
tersebut akan diatur. Selain itu dituliskan juga daftar urutan (prioritas)
terhadap permasalahn yang akan diatur.
Setelah
pengajuan rencana penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut, maka akan
dibuat suatu daftar Program Legislasi Nasional atau Rencana Legislasi Nasional
oleh Departemen Kehakiman, dalam hali ini Badan Pembinaan Hukum Nasional,
kemudian dimulailah tahap penyusunan naskah akademik melalui
serangkaian tahapan, yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pengkajian permasalahan yang berhubungan
dengan suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut oleh suatu Tim
dari BPHN-Departemen Kehakiman, bersama tenaga-tenaga ahli yang terkait dalam
masalah yang akan diatur;
2. Pelaksanaan penelitian terhadap berbagai segi
yang berhubungan dengan masalah yang akan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut, baik dengan penelitian yang bersifat normative,
maupun yang bersifat empiric.
Penelitian yang
bersifat normative dilakukan dengan mengadakan penelitian secara studi
kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan
penelitian yang bersifat empiris, dapat dilakukan dengan mengadakan wawancara
terhadap sejumlah kalangan yang dapat mewakili opini public secara luas, atau
dengan cara mengadakan jajak penadapat (pooling) melalui pemberian kuestioner.
3. Hasil penelitian tersebut kemudian akan
dijadikan masukan oleh Tim untuk menyusun suatu naskah akademik yang disertai
draft awal dari Rancangan Undang-Undang yang akan diajukan.
4. Sesudah naskah akademik dan Draft Rancangan
Undang-Undang tersebut selesai dibuat, termasuk penyempurnaan-penyempurnaan
yang mungkin diperlukan, kemudian akan dikirimkan kepada departemenatau
lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk dijadikan pedoman pembentukan
Rancangan Undang-Undang selanjutnya. ( Maria Farida, 2007: 242-243)
2. Dasar Hukum
Pembentukan Naskah Akademik
a) Sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Selama ini penyusunan suatu naskah akademik tidak diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh penyelenggara negara
yang berhubungan dengan pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan naskah
akademik biasanya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
Walaupun
kewajiban untuk menyusun suatu naskah akademik serta bentuk naskah akdemik
tersebut sampai saat ini tidak ditentukan dengan suatu pedoman yang jelas,
namun demikian sejak tanggal 20 Desember 1994 Kepala badan Pembinaan hukum
nasional telah mengeluarkan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No.
G 159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademis
Peraturan Perundang-Undangan, yang sebagian besar departemen digunakan sebagai
acuan untuk membentuk naskah akademis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Dasar hukum pembentukan naskah akdemis mulai mendapat perhatian
setelah Presiden menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 188 Th.
1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (dalam Keputusan
Presiden ini disebutkan dengan istilah rancangan akademik).
Penyusunan naskah akademik mulai menjadi suatu pemikiran dari
lembaga pemerintah yang terkait dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang,
oleh karena dalam Pasal 3 Keputusan Presiden No. 188 Th. 1988 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tersebut antara lain ditetapkan sebagai
berikut:
Pasal
3
(1) Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa
penyusunan Rancangan Undang-Undang dapat pula terlebih dahulu menyusun
rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun.
(2) Penyusunan rancangan akademik dilakukan oleh
Departemen atau Lembaga Pemrakarsa bersama dengan Departemen Kehakiman dan
pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau pihak
ketiga lainnya yang mempunyai keahlian itu.
Pasal
4
(1) Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan
dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri Kehakiman
mengkoordinasikan konsultasi di antara pejabat yang secara teknis menguasai
permasalahan yang diatur dan ahli hukum dari Departemen atau Lembaga Pemrakarsa
Rancangan Undang-Undang, Sekretariat Negara dan Departemen serta Lembaga
lainnya yang terkait.
(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tersebut
memerlukan rancangan akademik, maka rancangan akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Presiden
No. 188 Th. 1988 tersebut, maka keberadaan suatu naskah akademik dalam
pembentukan rancangan undang-undang (dan peraturan perundangan-undangan
lainnya) belum merupakan suatu kebijakan.
Kewajiban membentuk suatu rancangan akademik masih bersifat
tidak mengikat (alternatif), oleh karena dalam Pasal 3 ayat (1) hanya
dirumuskan dengan kata “ dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan
akademik” dan tidak dirumuskan dengan kata “wajib terlebih dahulu menyusun
rancangan akademik”.
Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan rakyat
Republik Indonesia No. 15/DPR RI/2004-2005 keberadaan suatu naskah akademis
perlu menjadi pertimbangan. Hal ini disebabkan dalam Pasal 119 ayat (1)
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 119
Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diajukan beserta penjelasan,
keterangan, dan/atau naskah akademik.
Dari rumusan dalam Pasal 119
ayat (5) Pertauran Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
tersebut terlihat bahwa kewajiban untuk menyusun naskah akademik dalam
pembentukan rancangan undang-undang masih bersifat suatu alternatif. Dengan
demikian, suatu rancangan undang-undang boleh diajukan dengan naskah akdemis,
atau tidak beserta naskah akademis asal rancangan undang-undang tersebut
disertai penjelasan dan keterangan.
b) Sesudah Undang-Undang No. 10 Th. 2004
Dalam Undang-Undang
No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Bab
V yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak
dirumuskan suatu kewajiban untuk menyusun naskah akademis dalam pembentukan
rancangan undang-undang atau rancangaan peraturan perundang-undangan yang lain.
Sesudah
berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tersebut, pengaturan tentang naskah
akademis mulai dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemrintah, dan
Rancangan Peraturan Presiden.
Dalam
Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut, pengertian naskah akademis
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7 yang berbunyi sebagai berikut:
“Naskah Akademis
adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi
yang berisi latyar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin dwujudkan
dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.”
Selanjutnya dalam Pasal 5 Peraturan
Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut dirumuskan bahwa:
(1) Pemrakarsa dalam menyusun
Rancangan Undang-Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademis mengenai
materi yang akan diatur dalam Rancangan Undamg-Undang.
(2) Penyusunan Naskah
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemrakrsa
bersama-sama dengan Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan dan pelaksanaanya dapat diserahkan kepada perguruan
tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.
(3) Naskah Akademis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikt memuat dasar filosofis,
sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur.
(4) Pedoman penyusunan Naskah
Akademis diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain itu, dalam Pasal 121 Surat Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dirumuskan sebagai
berikut:
(1) DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2) Setiap Rancangan
Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Rancangan Undang-Undang
dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
(4) DPD dapat mengajukan
kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumebr daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(5) Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diajukan beserta penjelasan,
keterangan, dan/atau naskah akademis.
Rumusan serupa juga terdapat dalam Pasal 125 ayat (1) dan
Pasal 134 (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, yang
masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 125 ayat (1) :
Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan, keterangan,
dan/ atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara
tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden.
Pasal 134 :
Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan, keterangan,
dan/ atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis
oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR.
5. Walaupun berdasarkan Peraturan
Presiden No. 68 Th. 2005, dan Surat Keputusan DPR No. 08/DPR RI/I/2005-2006
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat tersebut telah merumuskan
pengertian naskah akademis, dan mengaturnya dalam beberapa pasal, namun semua
ketentuan dalam pasal tersebut tidak memberikan kewajiban untuk menyusun naskah
akademis bagi pembetuntuk rancangan undang-undang. Dengan perkataan lain,
kewajiban membentuk naskah akademis dalam pembentukan rancangan undang-undang
adalah merupakan suatau alternatif. ( Maria Farida, 2007: 243-248)
3. Pembentukan Naskah Akademis di Masa
Mendatang
Berdasarkan uraian di atas, menurut pendapat Prof. Dr. A.
Hamid S. Attamimi, S.H. berkesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa keberadaan naskah
akademik dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan sampai
saat ini belum mempunyai kekuatan mengikat yang tegas, oleh karena kegunaan
naskah akademik dalam penyusunan suatau rancangan peraturan perundang-undangan
tidak merupakan suatu keharusan bagi Departemen atau Lembaga-Lembaga Pemerintah
yang menjadi Pemrakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan,
demikian pula di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah.
2. Bahwa selama ini suatu
naskah akademik disusun berdasarkan suatu kebiasaan yang berlaku, oleh karena
belum ada pedoman yang baku, hali ini dapat dimengerti oleh karena naskah
akademis bukanlah merupakan suatu produk hukum.
3. bahwa oleh karena secara
definisi ditetapkan bahwa, naskah akademis adalah suatu naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secra ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang, penelitian,
maka naskah akademis disusun sebelum rancangan undang-undangnya terbentuk. Hal
ini disampaikan, oleh karena selama ini seringkali seseorang dimintakan untuk
membuat suatu naskah akademis setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan.
4. Bahwa untuk mengamati
apakah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan yang
direncanakan dan terumuskan dalam suatu naskah akademis, diperlukan pembentukan
risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut berlangsung. Pembentukan risalah/dokumentasi yang
lengkap terhadap seluruh pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut, dapat merupakan bahan evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah
akademik dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui
alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut.
Untuk menunjang tercapainya penyusunan
peraturan perundang-undangan yang baik di negara Indonesia , dan yang memenuhi
kebutuhan akan pengaturan berbagai masalah yang ada, serta memenuhi keinginan
akan adanya harmonisasi dalam bidang perundang-undangan, maka pembahasan dan
kajian tentang fungsi dan pentingnya naskah akademik bagi penyusunan rancangan
undang-undang (dan peraturan perundang-undangan lainnya) merupakan suatu yang
perlu dipertimbangkan dalam hubungannnya dengan tata cara penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia selama ini. Pembahasan dan kajian
ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sistem hukum yang berlaku di
Indonesia.
Namun demikian, untuk menindaklanjuti ketentuan dalam
peraturan-peraturan tersebut di atas, terdapat hal-hal yang dapat diajukan
sebagai suatu pertimbangan, antara lain:
1. apakah pembentukan suatau
naskah akademik harus dilakukan terhadap setiap rancangan peraturan
perundang-undanganoleh karena materi peraturan perundang-undangan tersebut
seringkali hanya peraturan yang bersifat atribusi atau delegasi dari
Undang-Undang yang merupakan peraturan pelaksanaannya.
2. perlu adanya pedoman umum
bagi pembentukan suatu naskah akademik yang dapat dipakai sebagai acuan bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan yang memerlukan;
3. perlunya ada pengaturan
tentang kriteria-kriteria apa saja yang diperlukan untuk membentuk suatu naskah
akademik bagi setiap penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga
peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat memenuhi standar yang optimal
sebagai suatu peraturan yang baik dan diterima masyarakat;
4. perlunya penelitian lebih
dahulu mengenai materi muatan dari suatu masalah yang akan dirumuskan dalam
suatu rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga Departemen atau Lembaga
yang akan menyusun peraturan tersebut diatur dengan suatu jenis peraturan
perundang-undangan;
5. dengan menyesuaikan
ketentuan dalam pasal 1 butir 7, dan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Presiden No. 68
Th. 2005, naskah akademis sebaiknya memuat pula tentang hal-hal sebagai
berikut:
1) latar belakang dan tujuan
penyusunan;
2) argumentasi dan urgensi
pembentukan peraturan yang ingin diwijudkan;
3) lanfdasan filosofis,
sosiologis, yiridis, sepanjang hal tersebut ada;
4) sasaran yang ingin
diwujudkan
5) pokok-pokok pikiran,
lingkup atau objek yang akan diatur; dan
6) jangkauan dan arah
pengaturan. ( Maria Farida, 2007:
248-251)
BAB III
PENUTUP
A. A. Kesimpulan
1.
Pembentukan Naskah Akademik di Masa Yang
lalu
a) Pengkajian permasalahan
yang berhubungan dengan suatu rancangan peraturan perundang-undangan tersebut
oleh suatu Tim dari BPHN-Departemen Kehakiman, bersama tenaga-tenaga ahli yang
terkait dalam masalah yang akan diatur;
b) Pelaksanaan penelitian
terhadap berbagai segi yang berhubungan dengan masalah yang akan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut, baik dengan penelitian yang
bersifat normative, maupun yang bersifat empiric.
c) Hasil penelitian tersebut
kemudian akan dijadikan masukan oleh Tim untuk menyusun suatu naskah akademik
yang disertai draft awal dari Rancangan Undang-Undang yang akan diajukan.
d) Sesudah naskah akademik
dan Draft Rancangan Undang-Undang tersebut selesai dibuat, termasuk
penyempurnaan-penyempurnaan yang mungkin diperlukan, kemudian akan dikirimkan
kepada departemenatau lembaga-lembaga pemerintah yang terkait untuk dijadikan
pedoman pembentukan Rancangan Undang-Undang selanjutnya.
2.
Dasar Hukum
Pembentukan Naskah Akademik
a) Sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Dasar hukum pembentukan naskah akademis mulai mendapat perhatian
setelah Presiden menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 188 Th.
1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (dalam Keputusan
Presiden ini disebutkan dengan istilah rancangan akademik).
b) Sesudah Undang-Undang No. 10 Th. 2004
Dalam Undang-Undang
No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Bab
V yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak
dirumuskan suatu kewajiban untuk menyusun naskah akademis dalam pembentukan
rancangan undang-undang atau rancangaan peraturan perundang-undangan yang lain.
Sesudah
berlakunya Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tersebut, pengaturan tentang naskah
akademis mulai dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemrintah, dan
Rancangan Peraturan Presiden.
1. Pembentukan Naskah
Akademis di Masa Mendatang
berdasarkan uraian di
atas, menurut pendapat Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H. berkesimpulan
sebagai berikut:
4. Bahwa keberadaan naskah
akademik dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan sampai
saat ini belum mempunyai kekuatan mengikat yang tegas, oleh karena kegunaan
naskah akademik dalam penyusunan suatau rancangan peraturan perundang-undangan
tidak merupakan suatu keharusan bagi Departemen atau Lembaga-Lembaga Pemerintah
yang menjadi Pemrakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan,
demikian pula di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah.
5. Bahwa selama ini suatu
naskah akademik disusun berdasarkan suatu kebiasaan yang berlaku, oleh karena
belum ada pedoman yang baku, hali ini dapat dimengerti oleh karena naskah
akademis bukanlahmerupakan suatu produk hukum.
- bahwa oleh
karena secara definisi ditetapkan bahwa, naskah akademis adalah suatu
naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secra ilmiah mengenai konsepsi
yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin
diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan
undang-undang, penelitian, maka naskah akademis disusun sebelum rancangan
undang-undangnya terbentuk. Hal ini disampaikan, oleh karena selama ini
seringkali seseorang dimintakan untuk membuat suatu naskah akademis
setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan.
- Bahwa
untuk mengamati apakah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut
sesuai dengan yang direncanakan dan terumuskan dalam suatu naskah
akademis, diperlukan pembentukan risalah pembahasan yang dilakukan selama
proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung.
Pembentukan risalah/dokumentasi yang lengkap terhadap seluruh pembahasan
rancangan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat merupakan bahan
evaluasi terhadap kesesuaian suatu naskah akademik dan peraturan
perundang-undangan yang dibentuk, serta mengetahui alasan-alasan yang
mendasari setiap rumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
B. Rekomendasi
sebaiknya dalam pembentukan rancangan
peraturan perundang-undangan senantiasa menyusun naskah akademik terlebih
dahulu, sehingga ketika peraturan perundang-undangan tersebut telah terbentuk
memenuhi kriteria sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.
Daftar Pustaka
Soeprapto, Maria Farida Indrati.
1998. Ilmu Perundang-undangan-Dasar-dasar dan Pembentukannya.
Yogyakarta: Kanisius
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu
Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisius
Komentar
Posting Komentar